Menikmati Rustico
Kevin memperhatikan rambutku yang berubah sedikit, kemudian bertanya. “did you cut your hair?” tanya Kevin “yesterday, Sufi try ...
Kevin memperhatikan rambutku yang berubah
sedikit, kemudian bertanya.
“did
you cut your hair?” tanya Kevin
“yesterday, Sufi try to make eksperiment
with me and Karim”
“It’s Cool”
Aku kemudian kembali bercerita, tentang
Sufi dan Karim yang berusaha menghemat uang. Mencari cara agar tetap kelihatan
keren dengan rambut yang seolah tak terurus, namun sebenarnya bukan bermaksud
tak mengurus rambut. Hanya saja, isi dompet akan tergerus besar saat kami
berusaha untuk menjaga style rambut tetap keren. Berat mengeluarkan uang yang
cukup banyak jumlahnya, ada keperluan lain yang lebih penting daripada mesti ke
salon.
Pada akhirnya, rambut Karim, Sufi
dan aku berubah dalam hitungan beberapa menit. Sabetan kiri kanan tanpa ragu,
dari Sufi, Si Karindangan mengubah segalanya. Rambut kami menjadi lebih enak di
pandang.
“Gak uruslah, bagaimana modelnya.
Yang penting sedikit rapi. Disini orang gak gila urusan” Kata Karim.
Akhirnya, Karim menyebut gaya rambutnya
“Jambul Charlottetown”. Bagian kiri dan kanan tipis, agak rapi sementara teman masih
terus berkembang kurang rapi. Sementara rambutku sendiri, cukuplah rapi. Hanya
saja jika diperhatikan secara seksama, secermat mungkin, tiba-tiba saat
memandang style rambutku, aku teringat dengan poster yang dipajang dekat cermin
salon Madura dekat rumahku di Makassar. Style rambut yang agak tebal di depan,
tipis samping dan agak lahir jambul mungil menawan, ini gaya tahun 80-an dan
sekitarnya, mungkin saja.
Tapi, tak mengapa style rambut
sedikit seperti itu. Si Karindangan telah berkeksperimen dengan baik.
Siang itu saat Kevin selesai
bertanya, aku dan Eliot diajak untuk keluar bersama. Menikmati hari libur dan
waktu yang ada sebelum 28 Desember kami meninggalkan 137 Upper Prince St, rumah
Kevin. Menuju Montreal dan kembali ke Indonesia.
“Ok...., it’s Time to go”
Kami berempat menuju suatu tempat
yang belum diceritakan sebelumnya. Aku dan Eliot memang berniat menghabiskan
waktu dengan mereka akhir pekan ini. Ada banyak hal yang mereka ajarkan padaku,
percikan-percikan kehidupan mereka sering diceritakan hampir tiap malam. Mulai
dari awal rasa cinta mereka berdua bertemu, hingga menjadi seperti sekarang. Cinta
mereka terus tumbuh seiring usia yang menua.
“Pertumbuhan itu sifatnya
irreversible, artinya tidak dapat kembali.” Seperti penejelasan guru IPA
sewaktu aku masih SD.
Mereka semakin mesra menghadang
waktu yang kadang sombong menantang. Mereka juga membagi cinta dan waktunya
kepada aku dan Eliot.
Sekitar pukul 2 siang, kami menuju
sebuah tempat yang ditempuh sekitar satu jam. Dalam perjalanan, Gwenth
bercerita kembali, melempar pertanyaan ke Kevin, ke Eliot, dan pertanyaan
untukku. Jika perjalanan itu adalah permainan sepak bola, maka Gwenth telah
menjadi Kapten yang menjaga permainan dengan baik. Umpan-umpan yang lebih indah
dari Tiki taka Barcelona menjadi perjalanan terasa sangat menyenangkan. Mungkin
dia telah mencetak banyak gol dalam hatiku, cerita dan waktunya adalah
tendangan keras yang anggun nan super.
Ditambah lagi dengan jalan-jalan
yang sudah berhiaskan lampu dan dekorasi persiapan natal. Gwenth senang
menunjuk rumah-rumah yang dilewati, memperlihatkan dekorasi demi dekorasi
menyambut natal. Hingga akhirnya kami sampai di daerah pantai Charlottetown, Rustico namanya.
Melihat kapal-kapal yang bersandar
di tepi, menemukan alat penangkap lobster, dan melihat ombak-ombak mungil
daerah Rustico. Foto bersama, dan menikmati kebersamaan. Bagiku, kebersamaan
itulah yang membuatku akan sulit untuk bertemu dengan perpisahan yang sebentar
lagi tiba. Hingga senja tiba, dan kami pulang ke rumah.
***
Kevin sebagai ketua direktur Art
Galery Charlottetown, dan Gwenth sebagai dosen di Holland Collage. Mereka punya
kesibukan masing-masing, jadwal padat. Namun, tetap saja ada waktu di mana
mereka kembali menikmati kebersamaan. Di meja makan contohnya, selalu ada
cerita yang lahir. Bercerita sekitar sejam atau dua jam tak terasa karena tawa
yang lahir.
“You must go to Spanish, Barcelona,
or Italian after this!” Saran Gwenth
Saran yang kuanggap doa, sebab disekelilingku
ada banyak orang yang mengajarku traveling. Di mulai dari Kanada, (+1) negara
pertama dan selanjutnya aku akan menuju tempat yang mereka sarankan. Salah satunya,
saran Gwenth. Aku mencatatnya, membacanya dalam-dalam hingga perasaanku bisa
terketuk santun dan kemauan besar ada, lagi dan lagi.
Gwenth juga punya kalender spesial,
semacam kotak yang berisikan jenis-jenis teh. Ada 24 jenis yang dimulai di
tanggal 1 Desember, menghitung hingga hari natal tiba. Sekaligus menghitung hari kami
beranjak pergi dan berpisah dengannya.
“do you feel happy to go Indonesia??”
tanya Gwenth
“Ya, but I'm definitely sad,
because in Indonesia, I will miss you”
“Me too”
Minum teh, sambil menyulam contoh dari banyak hal yang mereka berikan, akan
menjadi kenangan untuk keluarga baru ini.
6 comments
Mantap,,,
ReplyMakasih atas "mantap" nya
Replysaya suka
ReplyWan kamu bikin ngiri *serius
Replykeren wan :)
ReplySemoga jadi penulis Besar. Karyanya ditunggu !!!
Reply